NAHDATHUL ULAMA
OLEH :
NAMA : HAYATI
N.P.M : 123042
PROG.STUDI : MANAJEMEN BANDAR UDARA
SEKOLAH TINGGI PENERBANGAN AVIASI
( STP AVIASI )
JL. GATOT SUBROTO NO 72, JAKARTA SELATAN 12780
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Nahdlatul Ulama (NU)”.
Walaupun dari sisi pengerjaan penulis tidak luput dari kekurangan dan
keterbatasan.
Maksud
dan tujuan dalam pembuatan makalah ini di buat, dalam rangka untuk
memenuhi salah satu syarat tugas individu yang sekaligus sebagai tugas akhir semester pada mata
kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Seiring dengan usaha kerja keras
penulis, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, karena tanpa bimbingan dan dorongannya, penulis tidak akan
menghasilkan karya tulis ini dengan baik.
Penulis
menyadari dengan sepenuhnya akan penulisan makalah ini yang masih
memiliki kekurangan- kekurangan dan sangat jauh sekali dari kata sempurna. Hal
tersebut mungkin di karenakan penulis masih sangat terbatas, dari segi
kemampuan maupun ilmu pengetahuan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang sifatnya dapat membangun dari pembaca semua.
Akhir
kata penulis menyampaikan terima kasih. Semoga makalah ini dapat di
terima dengan baik dan mempunyai tanggapan yang positif. Harapan selanjutnya,
semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Amin Ya Robbal Alamin.
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. SEJARAH
II.2. PAHAM KEAGAMAAN
II.3. NU DAN POLTIK
II.4. Fiqih dan Problematika Kontemporer NU
II.5. BAHTSUL
MASAIL DAN ISTINBATH HUKUM NU
II.6. MENGUJI KREDIBELITAS FIQH SEBAGAI KONSTITUSI
KEAGAMAAN JAM’IYAH NU.
II.7. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
II.8. NU dan
Rumusan Metode Ijtihad
II.9 VISI DAN MISI
II.10. ANALISIS NU
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Nahdathul ulama (NU) adalah sebuah
kelompok yang sudah lama berdiri di indonesia serta berkembang dengan pesat.
Mereka (ulama NU) telah banyak mengambil keputusan hokum islam dengan jalan
melakukakn bahstul masail ( mencari solusi dari sebuah masalah) dengan banyak
merujuk pada kitab-kitab fiqih yang berbagai madzab. Meskipun sebenarnya mereka
lebih condong pada madzab syafi’ei.
Pada makalah ini, penulis berusaha
mengupas tuntas bagaimana pengambilan hokum para ulama NU melakukannya, serta
pedoman dan taktisnya dalam melakukan penetapan sebuah hokum di Indonesia.
Telah banyak penetapan hokum islam yang
di hasilkan oleh ulama NU ini. Yang menarik dalam makalah ini, penulis berusaha
menampilkan NU sebagai sebuah kelompok yang sangat fleksibel karena masalah
yang mereka bahas sesuai dengan perkembangan zaman.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1.Sejarah
Masjid Jombang, tempat
kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui
jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang
terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan
dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah
berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini
gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul
Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar
(ketua) pertama NU. Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais
Akbar (ketua) pertama NU.
Untuk menegaskan
prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab
Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
II.2Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah,
sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal
ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam
bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang
lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam
lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali
kekhittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal
jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
a. Daftar
pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan
tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
No
|
Nama
|
Awal Jabatan
|
Akhir jabatan
|
1
|
1926
|
1947
|
|
2
|
1947
|
1971
|
|
3
|
1972
|
1980
|
|
4
|
1980
|
1984
|
|
5
|
1984
|
1991
|
|
6
|
1991
|
1992
|
|
7
|
1992
|
1999
|
|
8
|
1999
|
Petahan
|
b. Basis
pendukung
Dalam
menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu
diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim
tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan
istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa
dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh
NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila
dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi
politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis
atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian
dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah
orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa
dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim
santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim
santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU.
Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan
mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan
lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa
pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka
adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki
kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang
sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal
jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren
yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis
pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi
ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di
sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup
dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang
terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau
magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari
dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan
magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di
setiap lapisan kepengurusan NU.
c. Organisasi
-Tujuan
Menegakkan ajaran
Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-Usaha
- Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
- Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
- Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
- Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
- Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
-Struktur
- Pengurus Besar (tingkat Pusat).
- Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
- Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
- Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
- Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat,
Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
- Mustasyar (Penasihat)
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting,
setiap kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana harian)
-Lembaga
Merupakan pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
- Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
- Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
- Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
- Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
- Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
- Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
- Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
- Lembaga Takmir Masjid (LTM)
- Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
- Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
- Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
- Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
-Lajnah
Merupakan pelaksana
program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini
meliputi:
- Lajnah Falakiyah (LF-NU)
- Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
- Lajnah Auqaf (LA-NU)
- Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
-Badan
Otonom
Merupakan pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom
ini meliputi:
- Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
- Muslimat Nahdlatul Ulama
- Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
- Fatayat Nahdlatul Ulama
- Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
- Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
- Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
- Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
- Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
II.3.NU dan politik
Pertama
kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan
Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan
meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin
NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU
tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap
pemudanya GP Ansor.
NU
kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan
Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa
orde baru. Mengikuti
pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan
diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun
setelah reformasi
1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang
terpenting adalah Partai Kebangkitan
Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB
memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
1. Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Program
pokok:
Pengembangan organisasi dan SDM
di bidang dakwah Islamiyah.
Pengembangan kerukunan antar
umat beragama
Penyebarluasan ajaran Islam
yang selaras dengan semangat ahlussunah waljama'ah
Penggalangan kegiatan social
kemasyarakatan.
Jaringan
Organisasi:
28 Wilayah 328 Cabang
2. Lembaga
Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
Program Pokok:
Pengkajian
kependidikan
Peningkatan
kualitas tenaga pendidik
Pengembangan
pendidikan berbasis masyarakat
Pengembangan
kurikulum pendidikan yang dapat memadukan ketinggian ilmu pengetahuan dan
keluhuran budi pekerti
Pengembangan
jaringan kerja yang terkait dengan dunia pendidikan.
Jaringan Organisasi:
20 Wilayah
117 Cabang
Jaringan Usaha:
3.885 TK/TPQ
197 SD dan 3.861 MI
378 SLTP dan 733
MTs
211 SLTA dan 212 MA
44
Universitas dan 23 Akademi/Sekolah Tinggi
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama
( LPKNU )
Program
Pokok:
Pengkajian masalah kesehatan
Pendidikan dan pembinaan pelayanan
kesehatan
Penggalangan dana bagi para korban
bencana alam dan kesehatan
Pengembangan lembaga penanggulangan
krisis kesehatan.
Jaringan
Organisasi:
27 Wilayah 100 lebih Cabang
4.Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
Program
pokok:
Pengkajian ekonomi
Pemetaan potensi ekonomi warga NU
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Pelatihan
Jaringan
organisasi:
24 Wilayah 207 Cabang
5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul
Ulama (LP2NU)
Program
pokok:
Pengkajian masalah pertanian
Pengembangan sumber daya hayati
Pembinaan dan advokasi pertanian
Pemberdayaan ekonomi petani
Jaringan
organisasi:
19 Wilayah
140 Cabang
6. Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
Program
pokok:
Pengkajian kepesantrenan
Pengembangan kualitas pendidikan
pesantren
Pengembangan peran social pesantren
Pemberdayaan ekonomi pesantren
Jaringan
organisasi:
27 Wilayah
323 Cabang
Jaringan
usaha:
6.830 Pesantren
7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul
Ulama (LKKNU)
Program
pokok:
Pengkajian sosial keagamaan
Pengembangan wawasan keluarga
sejahtera
Pelayanan kesehatan masyarakat
Advokasi kependudukan dan lingkungan
hidup
Jaringan
organisasi:
22 Wilayah
50 lebih Cabang
8. Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI )
Program
pokok:
Pengembangan kualitas manajemen
rumah ibadah
Pengembangan aktifitas keagamaan
masjid
Peningkatan fungsi social masjid
Jaringan
organisasi:
16 Wilayah (tingkat propinsi)
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia (LAKPESDAM)
Program pokok:
Pengkajian sosial,
ekonomi, budaya, dan keagamaan
Pengembangan
kreatifitas dan produktifitas masyarakat
Pendidikan dan
pembinaan perencanaan strategis
Pengembangan
program pembangunan sektoral
Jaringan organisasi:
16 Wilayah
60 lebih Cabang
10. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
Program pokok:
Pengkajian hukum dan
perundang-undangan
Pendidikan kepengacaraan
Advokasi dan penyuluhan hukum
Kampanye penegakan hukum dan HAM
Jaringan
organisasi:
1 Wilayah
7 Cabang
11. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Program
pokok:
Pengkajian masalah-masalah actual
kemasyarakatan
Perumusan dan penyebarluasan fatwa
hukum (Islam)
Pengembangan standarisasi
kitab-kitab fikih
Jaringan
organisasi:
31 Wilayah
339 Cabang
BADAN
OTONOM
Merupakan
pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu.
Badan Otonom ini meliputi:
1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
Program pokok:
Pengkajian
ketarekatan dan keagamaan
Pengembangan ajaran
tarekat mu'tabarah di lingkungan NU
Pembinaan praktek
tarekat bagi warga NU
Jaringan
organisasi:
15 Wilayah
200 Cabang
2. Muslimat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan
pengembangan keorganisasian
Pengkajian
keperempuanan dan kemasyarakatan
Pengembangan SDM
kaum perempuan
Pengembangan
pendidikan kejuruan
Pengembangan usaha
social dan advokasi perempuan
Jaringan
organisasi:
31 Wilayah
339 Cabang
2.650 Anak
Cabang (setingkat MWC)
Jaringan
usaha:
49
Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin
8.522
TK dan TPQ
247
Koperasi (koperasi An Nisa)
Puluhan
panti yatim piatu, panti balita, asrama putri, dan Balai Latihan Kerja
yang
tersebar di berbagai
daerah
3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Program
pokok:
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
Pengembangan
wawasan kebangsaan
Pengembangan
SDM di bidang ekonomi, politik, IPTEK, social budaya, dan hukum
Pengembangan
jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan
organisasi:
30 Wilayah
337 Cabang
Jaringan
usaha:
INKOWINA
(Induk Koperasi Wira Usaha Nasional)
4. Fatayat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Kajian kepemudaan dan keperempuanan
Pendidikan dan penyuluhan kesehatan
masyarakat
Penanggulangan krisis social,
terutama menyangkut perbaikan kualitas generasi muda
Jaringan organisasi:
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
334 Cabang
5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan
keorganisasian
Pengkajian social kemasyarakatan
Pengembangan kreatifitas pelajar
Penggalangan dana beasiswa bagi
pelajar kurang mampu
Pendidikan dan pembinaan remaja
penyandang masalah social
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
265 Cabang
Jaringan Usaha:
KOPUTRA (Koperasi Putra Nusantara)
6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan
keorganisasian
Pengkajian social keagamaan serta
masalah remaja dan kepelajaran
Pendidikan dan pelayanan kesehatan
remaja
Pengembangan pendidikan bagi pelajar
putus sekolah
Jaringan organisasi:
26 Wilayah
7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Pemetaan dan pengembangan potensi
kader terdidik NU
Optimalisasi peran dan mobilitas
social warga NU
Pengkajian masalah-masalah
keindonesiaan
Pengembangan jaringan kerja nasional
dan internasional
Jaringan organisasi:
5 Wilayah
17 Cabang
8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Program pokok:
Pendidikan bela diri pencak silat.
Pembinaan dan pengembangan tenaga
keamanan di lingkungan NU.
Pengembangan kerja social
kemanusiaan
Jaringan organisasi:
15 Wilayah 110 Cabang .
9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
Program pokok:
Pengkajian dan pengembangan seni
baca Al-Qur'an.
Pendidikan dan pembinaan qira'atul
Qur'an.
Pengembangan SDM di bidang tahfidzul
Qur'an.
Penyelenggaraan MTQ.
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
339 Cabang
II.4.Fiqih dan
Problematika Kontemporer NU
Dalam
tradisi islam, fiqih memiliki peranan sentral sebagai instrument hokum untuk
mengatur kehidupan masyarakat muslim. Mereka memerlukan karakter hokum yang
karakternya tidak lagi murni tekstual nurmatif ( al-Qur’an dan Hadits ), tetapi
dan sudah terstruktur menjadi sebuah pranata hokum aplikatif (fiqh). Dengan
demikian maka fiqh dikodifikasikan untuk mengelola secara operasional
keseluruhan aktifitas manusia, mulai dari persoalan ritual keagamaan sampai
pada masalah-masalah profane, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
Hanya saja pembagian materi fiqh menjadi bermacam bidang tersebut tidak pernah
mengemukakan dalam diskursus hukum islam. Hal itu karena masa kodifikasi fiqh
pada era klasik dan tengah islam memang tidak melakukan diferensisasi terhadap
aktifitas ritual dan profane. Al-Mawardi adalah seorang faqih, keahliannya dalam bidang politik menempatkannya sebagai Aqd al-Qudat dan bukan Qadi al-Qudat. Gelar Aqd al-Qudat yang diberikan kepadanya
ini membuktikan adanya pembidangan materi (politik) dalam fiqh sejak dahulu.
Perlu
diketahui bahwa diferensisasi fiqh menjadi beberapa bidang merupakan fenomena
baru untuk memenuhi kualisifikasi fiqh sebagai piñata hokum diera modern yang
menuntut adnya spesialisasi. Dalam konteks Indonesia misalnya, terma fiqh al-siyasah
baru bergulir setelah munculnya gagasan reaktualisasi hokum islam pada tahun
1980-an. Para penggagas reaktualisasi ini berupaya mengintrodusir prinsip
universitalitas dalam etika politik islam untuk menjustifikasi pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik di negeri
ini. Sejak itu terma yang dipergunakan untuk hokum islam tentang politik adalah
fiqh al-siyasah, terpisah dari
induknya fiqh.
Bidang
kajian fiqh yang memisahkan diri dari induknya tentu saja tidak terbatas pada fiqh al-siyasah saja. Salah satu bidang
yang menegaskan kemandiriannya adalah fiqh sosial. Dalam bidang ini solusi
terhadap problem-problem kontemporer yang diletakkan dalam presfektif fiqh
mulai diupayakan melalui berbagai forum masalah-masalah sosial yang muncul
dalam kehidupan modern serta memerlukan kepastian hukum dalam prespektif islam
dibahas oleh kalangan ulama NU yang selalu aktif dalam membahas masalah-masalah
sosial ini. Mereka
berupaya untuk
memecahkan kebutuhan hukum Islam terhadap problematika
sosial kontemporer
tersebut. Dalam negara yang tidak berlakukan hukum
Islam seperti Indonesia, keputusan hukum mereka tidak mempunyai daya ikat
publik (legally unbinding).
Meskipun demikian, upaya ulama NU tadi membuktikan
adanya reaktualisasi fiqh,
Serta menunjukkan eksistensinya sebagai pranata hukum
yang masih dijadikan rujukan oleh
sebagian
masyarakat di negeri ini.
Salah satu problem sosial
yang memperoleh perhatian luas dari kalangan ulama beberapa waktu lalu adalah
kontroversi diseputar keabsahan kepemimpinan seorang perempuan. Meskipun
tersebut dapat dimasukkan kedalam ruang lingkup politik, munculnya kontroversi
tersebut merupakan refleksi dari norma sosial paternalistik yang masih kuat
menguasai sebagian sikap masyarakat Indonesia 2. Dalam seminar Pra-Muktamar NU
ke 30 dengan tema “fiqh al-nisa” di Baturaden Banyumas 22 Juli 1999 yang
lalu, ulama NU menetapkan keabsahan perempuan menjadi pemimpin nasional.
Dalam kaitannya dengan
interaksi dengan kelompok sosial lain ini, kalangan pesantren NU dengan
referensi Fiqhnya juga terbukti lebih mampu bersosialisasi dengan mereka. Untuk
memberikan gambaran dari sikap toleran tersebut, kalangan pesantren NU dapat
dipersonifikasikan melalui sikap Gus Dur. Personufikasi ini didasarkan pada
kenyataan bahwa GusDur adalah produk pesantren NU. Gus Dur dikenal memiliki
kedekatan hubungan, baik dengan menoritas agama (Nasrani) maupun etnis (China).
Pengangkatannya menjadi seorang presiden menunjukkan pengakuan dunia atas
keterbukaannya terhadap berbagai komponen sosial di Indonesia. Gus Dur juga
dikenal sangat getol mengupayakan proses demokratisasi dan penegakan human
right disaat Indonesia masih dalam politik
orde baru. Upaya tersebut merupakan jalan
untuk menkonstruk bangunan kehidupan sosial lintas agama, politik dan
ras.
Paparan
ringkasan tentang tipologi fiqh tersebut dapat menepis anggapan bahwa fiqh yang
menjadi rujukan ulama NU tidak mampu menawarkan solusi terhadap problem-problem
yang muncul pada zaman sekarang ini. NU juga termasuk kelompok yang pertama
kali menerima pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dan menetapkan
keabsahan perempuan sebagai seorang pemimpin.
II.5.BAHTSUL MASAIL DAN ISTINBATH HUKUM NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah
Islamiyah dan ijtima’iyah, sejak berdirinya telah menjadikan faham
ahlussunnah wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan
menganut dari salah satu dari empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’I
dan Hambali sebagai pandangan dalam berfiqh. Dengan mengikuti empat madzhab
fiqh ini, menunjukkan elestisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi
NU untuk beralih madzhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang
sebagai kebutuhan (hajah) meskipun kenyataannya dalam keseharian para ulama
NU menggunakan fiqh Indonesia yang bersumber dari madzhab Syafi’i.
Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang
diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari madzhab
Syafi’I.
Dengan
menganut salah satu dari empat madzhab dalam fiqh, NU sejak berdirinya memang
selalu mengambil sikap dasar untuk bermadzhab. Sikap ini secara konsekuen
ditindak lanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqh dari referensi dari kitab-kitab
fiqh yang umumnya dikerangkakan secara sisrtematik dari beberapa komponen: ibadah,
mu’amalah, munaqahah (hukum keluarga), jinayah/qadha’ (pidana/peradilan).dalam
hal ini para ulama NU dan forum bahstul masail mengarahkan orentitasnya pada
pengambilan hukum kepada pendapat para mujtahid yang muthlaq maupun muntashib.
Bila kebetulan ditemukan pendapat yang telah ada nashnya, maka qaul itulah yang
dipegangi, kalau tidak ditemukan maka akan beralih ke pendapat hasil takhrij.
Bila terjadi khilaf (perbedaan) maka diambil yang paling kuat sesuai
pentarjihan. ahli tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam
khilaf.akan tetapi mengambil sikap dalam menentukan pilihan sesuai dengan
situasi kebutuhan hajiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder maupun dharuriyah
(kebutuhan primer).
Dari
segi historis maupun operasionalitas, bahstul masail NU merupakan forum
yang sangat dinamis, demoktratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab
persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan hukum di masyarakat.
Demokratis karena forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiyai, santri yang
tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan
berwawasan luas sebab dalam bahstul masail tidak ada dominasi madzhab
dan selalu sepakat dalam khilaf.
II.6
MENGUJI KREDIBELITAS FIQH SEBAGAI
KONSTITUSI KEAGAMAAN JAM’IYAH NU.
Dalam sebuah artikelnya, KH
Sahal Mahfudz memberikan ilustrasi metaforis tentang hubungan timbal balik
antara NU dan Pesantren. Dalam ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa NU
dapat dipadang sebagai pesantren besar, sedangkan pesantren adalah miniatur NU.
Selanjutnya Rois Am PB NU ini memberikan sebutan bagi kalangan pesantren NU
dengan istilah masyarakat fiqh. Pernyataan tadi merupakan gambaran kuatnya
timbal-balik antara NU dan pesantren. Disatu sisi, keberagaman kalangan NU
didasarkan sepeuhnya pada ketentuan dalam fiqh. Disisi lain, fiqh sendiri
adalah bidang kajian pokok dalam kurikulum pesantren NU.
Para ulama NU sering mengambil keputusan hukum dari
kitab-kitab fiqh, sebagai pemikiran manusia (fukaha’), fiqh seharusnya
berfungsi sebagai referensi hukum sekunder tidak menjadi referensi hukum
primer. Pernyataan bahwa fiqh hanya bisa menjadi referensi hukum sekunder tentu
memiliki alasan. Karena fiqh memang tidak termauk dalam kategori substantive
low. Namun hal ini juga masih bisa diperdebatkan, seperti diketahui bahwa
fiqh semula adalah kumpulan dari sejumlah hadist yang disusun berdasarkan
kesamaan tema untuk membentuk berbagai bab- babnya.
Menjadikan hadist sebagai basis material seperti itu dimaksudkan untuk memasukkan
fiqh kedalam katagori sustantive low.
Disamping alasan metodologis tersebut, dalam tradisi Islam para fuqaha’
adalah kelompok yang bertanggung jawab untuk memelihara keautentikan
hadist. Karena itu tidak sedikit dari mereka yang juga menyandang gelar
ahli hadist (muhaddistin). Dengan kata lain bahwa kualifikasi
kepakaran dalam bidang hadist merupakan persyaratan keilmuan yang harus
dipenuhi oleh para fuqaha’. Dengan kapasitas kepakaran seperti itu, maka
setiap keputusan hukum yang ditetapkannya akan selalu memiliki
prespektif hadist.
Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa kedudukan fiqh dalam penentuan
hukum pada setiap masalah yang ada dapat dijadikan
rujukan serta pedoman bagi ulama
NU, dikarenakan para fuha’ itu sendiri adalh orang
yang ahli hadist.
II.7. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
NU
menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis).
Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an,
sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i
dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam
Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan
kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
Dalam
menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu
diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis
yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota,
maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk
itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat
apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada
dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan
suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU,
PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan maka
bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU.
Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu
berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU
& Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri
Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan
jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka
yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini
semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat
di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut
NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat
jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi
karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga
sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki
ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat
dan cagar budaya NU.
Basis
pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi
ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di
sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup
dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang
terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau
magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari
dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para doktor
dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU
hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Usaha-usaha
yang dilakukan organisasi NU antara lain:
1.
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan
meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam
perbedaan.
2.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi
luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga
Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di
Pulau Jawa.
3.
Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat
serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk
menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi
rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang
telah terbukti membantu masyarakat.
5.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Pertama
kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan
Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955.
NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada
masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai
yang mendukung Sukarno.
Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif
menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
Namun
setelah reformasi 1998, muncul
partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999
PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh
52 kursi DPR.
II.8.NU
dan Rumusan Metode Ijtihad
NU
dan Rumusan Metode Ijtihad
Beberapa Kiyai dan kalangan muda NU
menyadari kebutuhan akan metode baru. Seperti K.H. A. Mustofa Bisri yang
berpendapat bahwa sebelum memberikan fatwa, ulama perlu melihat pada latar
belakang permasalahan dulu, kemudian mengeluarkan statemen pengantar
berdasarkan itu. Tahun 1988 di Pesantren Watucongol Muntilan Magelang, mereka
mendiskusikan bagaimana cara membaca kitab kuning lebih kritis. Masdar Farid
Mas’udi mengungkapkan, mereka membahas bagaimana menganalisis tulisan-tulisan
pada kitab Islam menurut latar belakang dan sosio-kultur ditulisnya kitab
tersebut. Dalam makna lain, mereka mencoba untuk melihat teks secara
konstekstual, tidak lagi sekedar tekstual.
Pada November 1998, pertemuan
selanjutnya di Pesantren Krapyak Yogyakarta, membahas tata cara Bahtsul
Masa’il. Pertemuan ketiga di Pesantren Denanyar Jombang merumuskan metodologi
untuk membedakan antara pengutipan pendapat ulama (qauli) dan metode (manhaji).
Setelah itu, mereka mendiskusikan cara untuk membina fikih sosial dalam rangka
memecahkan masalah sosial. Pada hakekatnya, mereka menginginkan hukum Islam tidak
hanya berbicara masalah ritual-keagamaan, namun juga masalah sosial seperti
posisi militer, prostitusi, pajak, dan demokrasi.
Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan bahwa; pertama, tidak cukup mengeluarkan fatwa hanya dengan mengutip dari teks kitab kuning. Qowâ’id ushûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah juga perlu diuji. Kedua, fatwa masalah sosial perlu menelaah hal-hal seperti latar belakang sosial, situasi politik, dan ekonomi. Seperti contoh, untuk menjawab masalah prostitusi di suatu tempat, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa “prostitusi itu dilarang menurut kitab fikih”. Malahan, perlu ditelaah kenapa prostistusi terjadi di tempat itu? Kenapa orang-orang menyukai pergi ke sana? Kenapa Pemerintah tinggal diam dalam masalah ini? Jawaban harus lebih luas dan mempunyai daya lingkup menyeluruh.
Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan bahwa; pertama, tidak cukup mengeluarkan fatwa hanya dengan mengutip dari teks kitab kuning. Qowâ’id ushûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah juga perlu diuji. Kedua, fatwa masalah sosial perlu menelaah hal-hal seperti latar belakang sosial, situasi politik, dan ekonomi. Seperti contoh, untuk menjawab masalah prostitusi di suatu tempat, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa “prostitusi itu dilarang menurut kitab fikih”. Malahan, perlu ditelaah kenapa prostistusi terjadi di tempat itu? Kenapa orang-orang menyukai pergi ke sana? Kenapa Pemerintah tinggal diam dalam masalah ini? Jawaban harus lebih luas dan mempunyai daya lingkup menyeluruh.
Ketiga, memberikan fatwa tanpa
mengutip pendapat atau qaul madzhab Syafi’iyah bukan berarti menolak terhadap
madzhab itu, sepanjang mengikuti metodologi madzhab itu. Tambahan lagi, yang
keempat, memilih pendapat paling kuat dari fatwa-fatwa yang berbeda harus
berdasar pada argumentasi yang paling bermanfaat (maslahah) bagi masyarakat;
bukan hanya pada tingkatan para ulama.
Pada Kongres Nasional di Lampung,
21-25 Januari 1992, sebuah terobosan telah tercapai. Kiyai-kiyai yang terlibat
dalam pertemuan itu mengusulkan untuk mendiskusikan metode mengeluarkan fatwa.
Jelas tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah diikuti sejak 1926. Beberapa
Kiyai Senior ingin mempertahankan metode lama. Sebuah kompromi yang tercapai, dengan
beberapa metode baru yang diterima selagi masih berdiri di atas prinsip lama.
Selanjutnya, NU biasanya akan memproduksi fatwa dengan; pertama, memeriksa secara menyeluruh pendapat-pendapat para ulama terdahulu. Kedua, Jika ditemukan perbedaan pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat paling dominan yang dipilih secara bersama (taqrîr jama’i). Ketiga, jika jawaban masih tidak ditemukan, maka akan menggunakan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha, dengan menggambarkan antara kasus yang ditangani dan situasi serupa yang disebutkan di dalam kitab hukum Islam. Keempat, jika dengan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha tidak juga mendapatkan jawaban atas permasalahannya, maka harus mengadakan istinbât jama’i dengan melihat metode Imam madzhabnya. Dalam posisi ini, seorang ahli ilmu umum seperti ahli ekonomi, hukum, dan teknik, bisa terlibat dalam proses ijtihad.
Selanjutnya, NU biasanya akan memproduksi fatwa dengan; pertama, memeriksa secara menyeluruh pendapat-pendapat para ulama terdahulu. Kedua, Jika ditemukan perbedaan pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat paling dominan yang dipilih secara bersama (taqrîr jama’i). Ketiga, jika jawaban masih tidak ditemukan, maka akan menggunakan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha, dengan menggambarkan antara kasus yang ditangani dan situasi serupa yang disebutkan di dalam kitab hukum Islam. Keempat, jika dengan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha tidak juga mendapatkan jawaban atas permasalahannya, maka harus mengadakan istinbât jama’i dengan melihat metode Imam madzhabnya. Dalam posisi ini, seorang ahli ilmu umum seperti ahli ekonomi, hukum, dan teknik, bisa terlibat dalam proses ijtihad.
-Kesimpulan
Walaupun
analisis permasalahan sosial disatukan dalam metode baru, dan untuk pertama
kalinya NU berbicara tentang fatwa kolektif, sejumlah persiapan mungkin dibuat.
Pertama, metode lama tetap dilakukan secara utuh. Ini berarti memilih satu
pendapat hanya berdasarkan tingkatan ulama saja, tidak melihat pada kekuatan
argumen atau mana yang lebih bermanfaat (maslahah) bagi masyarakat. Dalam
bentuk terbatas ini, analisa sosial diterima karena tidak menggantikan metode
lama. Usulan baru hanya memperluas metode lama.
Kedua, NU masih tidak mengakui seputar kemampuan melakukan ijtihad. Semisal, menghindari penggunaan terma ijtihad dan qiyâs. Diyakini bahwa, mengikuti Imam Syafi’i, keduanya setara, dan karena NU menyatakan diri sebagai Muqallid, terminologi seperti itu dihindari. Malahan, terma istinbât dan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha digunakan. Namun realitanya, terminologi itu secara berurutan tidak berlainan dengan ijtihad dan qiyâs. Bisa dikatakan bahwa, walaupun NU tidak ingin disebut sebagai Mujtahid, tapi melakukan ijtihad dengan nama lain.
NU perlu bercermin pada perdebatan ijtihad dalam tradisi Islam. Mayoritas ulama membolehkan ijtihad dalam kasus tertentu. K.H. Husein Muhammad, Pesantren Arjawinangun, meyakini bahwa ulama NU mempunyai kapabilitas untuk melakukan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu. Masalahnya adalah, bahwa mereka terlalu rendah hati untuk melakukan itu.
Ketiga, implementasi metode baru layak ditinjau ulang. Menurut K.H. Azis Masyhuri, tujuh tahun setelah metode baru digunakan, prosedur manhaji dan istinbât tidak pernah lagi dipakai. Para ulama mengklaim bahwa mereka masih bisa memecahkan masalah, termasuk masalah modern, dengan bersumber kepada teks-teks kitab kuning. Faktanya bahwa tidak ada contoh bagaimana mengaplikasikan metode baru secara optimal. K.H. Azis Masyhuri mengklaim bahwa dia ditanya Wakil Ketua Dewan Syuriah, K.H. Sahal Mahfudz (1994-1999), “Adakah contoh mengeluarkan fatwa dengan manhaji atau istinbât?”. Menurut K.H. Azis Masyhuri, K.H. Sahal Mahfudz mengakui bahwa beliau tidak bisa memberikan satu contoh pun.
Dr. Ahsin Muhammad mengkritik NU karena tidak menyediakan petunjuk teknis dalam mengaplikasikan metode baru. Menurutnya jika petunjuk teknis untuk metode baru keluar, maka efeknya akan; pertama, Pesantren akan merubah kurikulum dan program, dalam rangka mengajarkan santri-santrinya tentang cara mengeluarkan fatwa dengan metode baru. Kedua, fatwa lama sejak Muktamar pertama tahun 1926 perlu ditinjau ulang, berdasarkan metode baru. Ini menjadikan NU telah gagal bukan hanya dalam mengenalkan metode baru kepada anggotanya, bahkan juga dalam menindaklanjuti hal tersebut.
Dengan metode baru, analisis sosial diperlukan untuk memecahkan problematika sosial. Dalam prakteknya, jarang muncul analisis seperti itu. Bahkan bisa dikatakan tak ada sama sekali. Seperti contoh, pada Muktamar ke 29 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat (dua tahun setelah metode baru diputuskan), saat menjawab pertanyaan tentang upah minimum tenaga kerja, fatwa masih bersandar pada konsep fikih, dan melalaikan isu dasar: ketimpangan posisi tawar (bargaining position) antara pemerintah, perusahaan, dan karyawan. Hasilnya fatwa itu tidak memberikan rekomendasi apapun untuk memecahkan problem dasar seputar tenaga kerja di Indonesia.
Dengan menerima analisis sosial sebagai metode tambahan, NU berkesempatan untuk mengembangkan posisi fatwa tidak hanya sebatas persoalan agama, namun juga sebagai perangkat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini memerlukan ahli ilmu sosial untuk ikut terlibat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa. NU menyediakan kesempatan kepada ahli sosial untuk mengambil peran. Sayangnya, sedikitnya kalangan NU yang menguasai disiplin sosial dan besarnya biaya untuk mengundang pakar di bidang itu masih menjadi kendala.
Kedua, NU masih tidak mengakui seputar kemampuan melakukan ijtihad. Semisal, menghindari penggunaan terma ijtihad dan qiyâs. Diyakini bahwa, mengikuti Imam Syafi’i, keduanya setara, dan karena NU menyatakan diri sebagai Muqallid, terminologi seperti itu dihindari. Malahan, terma istinbât dan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha digunakan. Namun realitanya, terminologi itu secara berurutan tidak berlainan dengan ijtihad dan qiyâs. Bisa dikatakan bahwa, walaupun NU tidak ingin disebut sebagai Mujtahid, tapi melakukan ijtihad dengan nama lain.
NU perlu bercermin pada perdebatan ijtihad dalam tradisi Islam. Mayoritas ulama membolehkan ijtihad dalam kasus tertentu. K.H. Husein Muhammad, Pesantren Arjawinangun, meyakini bahwa ulama NU mempunyai kapabilitas untuk melakukan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu. Masalahnya adalah, bahwa mereka terlalu rendah hati untuk melakukan itu.
Ketiga, implementasi metode baru layak ditinjau ulang. Menurut K.H. Azis Masyhuri, tujuh tahun setelah metode baru digunakan, prosedur manhaji dan istinbât tidak pernah lagi dipakai. Para ulama mengklaim bahwa mereka masih bisa memecahkan masalah, termasuk masalah modern, dengan bersumber kepada teks-teks kitab kuning. Faktanya bahwa tidak ada contoh bagaimana mengaplikasikan metode baru secara optimal. K.H. Azis Masyhuri mengklaim bahwa dia ditanya Wakil Ketua Dewan Syuriah, K.H. Sahal Mahfudz (1994-1999), “Adakah contoh mengeluarkan fatwa dengan manhaji atau istinbât?”. Menurut K.H. Azis Masyhuri, K.H. Sahal Mahfudz mengakui bahwa beliau tidak bisa memberikan satu contoh pun.
Dr. Ahsin Muhammad mengkritik NU karena tidak menyediakan petunjuk teknis dalam mengaplikasikan metode baru. Menurutnya jika petunjuk teknis untuk metode baru keluar, maka efeknya akan; pertama, Pesantren akan merubah kurikulum dan program, dalam rangka mengajarkan santri-santrinya tentang cara mengeluarkan fatwa dengan metode baru. Kedua, fatwa lama sejak Muktamar pertama tahun 1926 perlu ditinjau ulang, berdasarkan metode baru. Ini menjadikan NU telah gagal bukan hanya dalam mengenalkan metode baru kepada anggotanya, bahkan juga dalam menindaklanjuti hal tersebut.
Dengan metode baru, analisis sosial diperlukan untuk memecahkan problematika sosial. Dalam prakteknya, jarang muncul analisis seperti itu. Bahkan bisa dikatakan tak ada sama sekali. Seperti contoh, pada Muktamar ke 29 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat (dua tahun setelah metode baru diputuskan), saat menjawab pertanyaan tentang upah minimum tenaga kerja, fatwa masih bersandar pada konsep fikih, dan melalaikan isu dasar: ketimpangan posisi tawar (bargaining position) antara pemerintah, perusahaan, dan karyawan. Hasilnya fatwa itu tidak memberikan rekomendasi apapun untuk memecahkan problem dasar seputar tenaga kerja di Indonesia.
Dengan menerima analisis sosial sebagai metode tambahan, NU berkesempatan untuk mengembangkan posisi fatwa tidak hanya sebatas persoalan agama, namun juga sebagai perangkat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini memerlukan ahli ilmu sosial untuk ikut terlibat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa. NU menyediakan kesempatan kepada ahli sosial untuk mengambil peran. Sayangnya, sedikitnya kalangan NU yang menguasai disiplin sosial dan besarnya biaya untuk mengundang pakar di bidang itu masih menjadi kendala.
II.9.VISI
DAN MISI
Berdasarkan hasil keputusan Muktamar Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah wal Jama`ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Misi NU adalah dengan melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
Berdasarkan hasil keputusan Muktamar Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah wal Jama`ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Misi NU adalah dengan melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
- Di bidang agama, menupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah wal Jama`ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma`ruf nahi munkar
- Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membuna umat agar menjadi muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
- Di bidang sosial, mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.
- Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
- Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khairu Ummah.
A. TUJUAN NU
Jika kita melihat muqoddimah khittah NU alenia ke-2 maka tujuan didirikan NU adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan ahlussunah wal jama`ah serta menganut salah satu madzhab empat; Imam Abu Hanifah an-Nu`man, Imam Malik Bin Anas, Imam Muhammad Bin Idris As-syafi`I dan Imam Ahmad bin Hanbal, guna mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, ketinggian harkat dan martabat manusia
Berdasarkan pada mukoddimah khittah NU pada alenia ke-3 maka tujuan NU adalah Membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Alloh SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.
B. FUNGSI NU
Jika kita melihat butir ketujuh khittah NU tentang fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama dalam NU maka fungsi dari NU sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Karena pada dasarnya Nu adalah jam`iyah diniyah yang membawakan paham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa fatwa keagamaan Islam ahlussunah wal jama`ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi
C. POSISI NU
- Dalam Kehidupan Berbangsa
Berdasarkan pada alenia 1,2,3, dan 4 pada butir ke 8 kittah NU yang menjelaskan tentang posisi NU dalam kehidupan berbangsa, maka posisi NU dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi keseluruhan bangsa Indonesia, NU senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. NU secara sadar mengambil posisi yang aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan serta ikut aktif dalam penyusunan UUD `45 dan perumusan dan penyusunan pancasila sebagai dasar Negara
Keberadaan NU yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan segenap warganya untuk selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Alloh SWT. Karenanya setiap warga NU harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi pancasila dan UUD `45.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian yang tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-Ukhuwah), toleransi (at-Tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan NU berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara
- NU dalam kehidupan politik
Berdasarkan pada alenia 5 dan 6 pada butir ke 8 kittah NU yang menjelaskan tentang posisi NU dalam kehidupan berbangsa, maka NU sebagai jam`iyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga
c. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh Undang-Undang. Di dalam hal politik warga NU menggunakan hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama
- STRUKTUR KEPENGURUSAN
1. Struktur Organisasi NU
a. PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat pusat.
b. PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat propinsi.
c. PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Kabupaten, dan PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) untuk luar negeri
d. MWC NU (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat kecamatan.
e. Ranting untuk tingkat kelurahan /desa.
2.
Struktur Kelembagaan NU
a. Musttasyar (Penasehat)
b. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)terdiri dari :
• Rais Aam
• Wakil Rais Aam
• Katib Aam
• Beberapa Wakil Katib
• A’wam
c. Tanfidziyah (pelaksana) terdiri dari :
• Ketua Umum
• Beberapa Ketua
• Sekretarias Jenderal
• Beberapa Wakil Sekjen
• Bendahara
• Beberapa Wakil Bendahara
3. Stuktur Organisasi Lajnah, Banon dan Lembaga
a. Musttasyar (Penasehat)
b. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)terdiri dari :
• Rais Aam
• Wakil Rais Aam
• Katib Aam
• Beberapa Wakil Katib
• A’wam
c. Tanfidziyah (pelaksana) terdiri dari :
• Ketua Umum
• Beberapa Ketua
• Sekretarias Jenderal
• Beberapa Wakil Sekjen
• Bendahara
• Beberapa Wakil Bendahara
3. Stuktur Organisasi Lajnah, Banon dan Lembaga
- PP (Pimpinan Pusat) untuk tingkat pusat.
- PW (Pimpinan Wilayah) untuk tingkat propinsi.
- PC (Pimpinan Cabang) untuk tingkat Kabupaten/kota.
- PAC (Pimpinan Anak Cabang) untuk tingkat kecamatan.
- Ranting untuk tingkat kelurahan/desa dan komisariat untuk kepengurusan disuatu tempat tertentu.
D.KEANGGOTAAN
NU memiliki anggota yang luar biasa besar. Hasil survai LSI (2004) menyebutkan anggota NU tidak kurang dari 60 juta orang. Mereka tersebar di 30 Pengurus Wilayah, 339 Pengurus Cabang, 2.630 Majelis Wakil Cabang dan 37.125 Pengurus Ranting di seluruh Indonesia. Ditambah 12 Pengurus Cabang Istimewa di Luar negeri (data PBNU tahun 2004)
NU memiliki anggota yang luar biasa besar. Hasil survai LSI (2004) menyebutkan anggota NU tidak kurang dari 60 juta orang. Mereka tersebar di 30 Pengurus Wilayah, 339 Pengurus Cabang, 2.630 Majelis Wakil Cabang dan 37.125 Pengurus Ranting di seluruh Indonesia. Ditambah 12 Pengurus Cabang Istimewa di Luar negeri (data PBNU tahun 2004)
E.GARIS-GARIS BESAR PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA
Mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : al-Qur`an, as-Sunah, al-Ijma` (kesepakatan para sahabat dan ulama) dan al-Qiyas (analogi).
Dalam memahami dan menafsirkannya, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah dengan jalan pendekatan madzhab:
- Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah yang dipelopori oleh Imam Abul hasan al-Asy`ari dan Imam abu mansur al-Maturidi
- Di bidang giqih, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah an-Nu`man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi`I dan Imam ahmad bin Hanbal
- Di bidang tasawuf, NU mengikuti antara lain Imam Junaid al-baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain
F.ARTI LAMBANG NU
Nahdlatul Ulama, secara istilah diciptakan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Azis, bermula dari ide KH Abdul Khamid (Sedayu,Gresik). Sedangkan lambang NU diciptakan oleh KH Ridwan Abdulloh (Surabaya) dari hasil mimpi beliau waktu istikharoh yang mempunyai arti sebagai berikut :
- Bola Dunia : Melambangkan bumi tempat kita hidup
- Gambar Peta : Melambangkan NU yang rahmatun lil ‘alamin, bermanfaat bagi seluruh umat manusia
- Ikatan Tali Atas : Melambangkan persatuan yang kokoh
- Dua Ikatan Tali Bawah : Keseimbangan hubungan manusia dan Tuhan
- Untaian Tali 99 melambangkan Asmaul Khusna
- Satu Bintang Besar : Melambangkan Nabi Muhammad SAW.
- Empat Bintang di Atas Khatulistiwa : Melambangkan Khulafaur Rasyidin
- Empat Bintang di Bawah Khatulistiwa : Melambangkan empat Imam madzhab, bila dijumlah 9 bintang melambangkan wali sanga
- Tulisan Huruf Arab Melintang : Menggambarkan nama Nahdlatul Ulama
- Warna Dasar Hijau Berarti Kesuburan Indonesia
- Warna Putih Melambangkan Kesucian
II.10.ANALISIS NU
Menurut pelunis NU adalah sebuah golongan yang lebih
banyak memakai
nalar dari pada dalil-dalil tetapi tidak
menyimpangnya. Para ulama NU cendrung lebih
sosial dari pada golongan-golongan yang lain. NU juga
lebih luwes pemikirannya di
sesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Oleh
sebab itu para ulama NU banyak
yang menggunakan ijtihad sehingga banyak sekali bid’ah
yang mereka lakukan, makanya
para ulama NU membagi bid’ah itu sendiri
kedalam dua bagian, pertama bid’ah hasanah
yaitu sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah terjadi
pada zaman Rasul tetapi juga tidak
melanggar syari’at yang ada. Yang kedua bid’ah
sayyi’ah kebalikan dari yang pertama.
Meode yang digunakan oleh ulama NU dalam mengambil
sebuah
keputusan/penetapan hukum Islam adalah bahsul
masail, dimana masalah yang dihadapi
dirembuk bersama untuk mencapai hasil mufakat.
Selain itu pula para ulama NU menurut penulis terlalu
terpaku pada kitabkitab
fiqh saja, meskipun itu juga tidak keliru. Tetapi
semakin banyak referensi yang
diambil akan semakin bagus dan kemungkinan keliru
dalam mengambil sebuah istimbat
akan semakin kecil.
BAB III
PENUTUP
Dari makalah diatas kami telah mencoba memaparkan
seluk-beluk NU yang berkembang di Indoesia, serta dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa :
1.
Para ulama NU terlalu sering serta berpedoman pada fiqh, yang
masih diragukankeautentik keabsahannya. Itu bisa dilakukan apabila tidak
menemukan penetapan
hukum dari hadist dan
al-Qur’an.
2. NU adalah sebuah golongan yang luwes dan fleksibel,
sebab NU bukanlah golongan yang hanya bergerak dalam bidang agama saja, tipi NU
juga bergerak dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Selain itu, NU juga golongan
yang mengikuti perkembangan zaman, sebab yang
dibahas dalam bahstul masail NU bukan hanya
permasalahan kontemporer tetapi juga
permasalahan-permasalahan
yang terjadi sekarang ini
KESIMPULAN
Dari
materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H
(31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari
sebagi Rais Akbar, Nahdlatul Ulama menganut paham
Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis), Jumlah
warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari
40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat
jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi
karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga
sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan pada umumnya mereka
memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat
pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
DAFTAR PUSTAKA
→ Fahrudin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Pustaka Alvabet Jakarta. 2009
→ Nalar Politik NU
& Muhammadiyah, 2009
→ http//id.wikipedia.org/wiki/nahdatul
ulama
→ Al Barry, Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola. Surabaya,
1994
→ Sutarmo, Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, Suaka Alva.
Jogyakarta. 2005
0 komentar:
Posting Komentar