Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

About Me

RSS
Post Icon

NAHDATHUL ULAMA


NAHDATHUL ULAMA




 


 OLEH :

NAMA : HAYATI
N.P.M : 123042
PROG.STUDI : MANAJEMEN BANDAR UDARA




SEKOLAH TINGGI PENERBANGAN AVIASI
( STP AVIASI )

JL. GATOT SUBROTO NO 72, JAKARTA SELATAN 12780

TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Nahdlatul Ulama (NU)”. Walaupun dari sisi pengerjaan penulis tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan.
Maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini di buat, dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat tugas individu yang sekaligus sebagai tugas akhir semester pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Seiring dengan usaha kerja keras penulis, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, karena tanpa bimbingan dan dorongannya, penulis tidak akan menghasilkan karya tulis ini dengan baik.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya akan penulisan makalah ini yang masih memiliki kekurangan- kekurangan dan sangat jauh sekali dari kata sempurna. Hal tersebut mungkin di karenakan penulis masih sangat terbatas, dari segi kemampuan maupun ilmu pengetahuan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya dapat membangun dari pembaca semua.
Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih. Semoga makalah ini dapat di terima dengan baik dan mempunyai tanggapan yang positif. Harapan selanjutnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Amin Ya Robbal Alamin.














DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN                                                                            

BAB II
PEMBAHASAN                                                                                                       

II.1.    SEJARAH                                                                                                        
II.2.    PAHAM KEAGAMAAN                                                                               
II.3.   NU DAN POLTIK                                                                               
II.4.  Fiqih dan Problematika Kontemporer NU
II.5.  BAHTSUL MASAIL DAN ISTINBATH HUKUM NU                               
II.6.     MENGUJI KREDIBELITAS FIQH SEBAGAI KONSTITUSI KEAGAMAAN JAM’IYAH NU.
II.7.  PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
II.8.  NU dan Rumusan Metode Ijtihad
II.9    VISI DAN MISI
II.10. ANALISIS NU                                                                                               

BAB III
PENUTUP                                                                                                                 

KESIMPULAN                                                                                                         
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                           













BAB I
PENDAHULUAN

Nahdathul ulama (NU) adalah sebuah kelompok yang sudah lama berdiri di indonesia serta berkembang dengan pesat. Mereka (ulama NU) telah banyak mengambil keputusan hokum islam dengan jalan melakukakn bahstul masail ( mencari solusi dari sebuah masalah) dengan banyak merujuk pada kitab-kitab fiqih yang berbagai madzab. Meskipun sebenarnya mereka lebih condong  pada madzab syafi’ei.
Pada makalah ini, penulis berusaha mengupas tuntas bagaimana pengambilan hokum para ulama NU melakukannya, serta pedoman dan taktisnya dalam melakukan penetapan sebuah hokum di Indonesia. Telah banyak  penetapan hokum islam yang di hasilkan oleh ulama NU ini. Yang menarik dalam makalah ini, penulis berusaha menampilkan NU sebagai sebuah kelompok yang sangat fleksibel karena masalah yang mereka bahas sesuai dengan perkembangan zaman.
























BAB II
PEMBAHASAN

II.1.Sejarah
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/15/Jombang_Mosque.jpg/220px-Jombang_Mosque.jpg
Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU. Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/dc/Hasyim_Asy%27ari.jpg/125px-Hasyim_Asy%27ari.jpg
http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf3/skins/common/images/magnify-clip.png
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
II.2Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
a.     Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
No
Nama
Awal Jabatan
Akhir jabatan
1
1926
1947
2
1947
1971
3
1972
1980
4
1980
1984
5
1984
1991
6
1991
1992
7
1992
1999
8
1999
Petahan

b.    Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
c.      Organisasi
-Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

-Usaha
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
-Struktur
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat).
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustasyar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
-Lembaga
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
  1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
  2. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
  3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
  4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
  5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
  6. Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
  7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
  8. Lembaga Takmir Masjid (LTM)
  9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
  10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
  11. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
  12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
-Lajnah
Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
  1. Lajnah Falakiyah (LF-NU)
  2. Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
  3. Lajnah Auqaf (LA-NU)
  4. Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
-Badan Otonom
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
  1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
  2. Muslimat Nahdlatul Ulama
  3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
  4. Fatayat Nahdlatul Ulama
  5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
  6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
  7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
  8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
  9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)










II.3.NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Program pokok:
Pengembangan organisasi dan SDM di bidang dakwah Islamiyah.
Pengembangan kerukunan antar umat beragama
Penyebarluasan ajaran Islam yang selaras dengan semangat ahlussunah waljama'ah
Penggalangan kegiatan social kemasyarakatan.
Jaringan Organisasi:
28 Wilayah 328 Cabang

2. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
Program Pokok:
Pengkajian kependidikan
Peningkatan kualitas tenaga pendidik
Pengembangan pendidikan berbasis masyarakat
Pengembangan kurikulum pendidikan yang dapat memadukan ketinggian ilmu pengetahuan dan keluhuran budi pekerti
Pengembangan jaringan kerja yang terkait dengan dunia pendidikan.
Jaringan Organisasi:
20 Wilayah
117 Cabang
Jaringan Usaha:
3.885 TK/TPQ
197 SD dan 3.861 MI
378 SLTP dan 733 MTs
211 SLTA dan 212 MA
44 Universitas dan 23 Akademi/Sekolah Tinggi

3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
Program Pokok:
Pengkajian masalah kesehatan
Pendidikan dan pembinaan pelayanan kesehatan
Penggalangan dana bagi para korban bencana alam dan kesehatan
Pengembangan lembaga penanggulangan krisis kesehatan.
Jaringan Organisasi:
27 Wilayah 100 lebih Cabang

4.Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
Program pokok:
Pengkajian ekonomi
Pemetaan potensi ekonomi warga NU Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Pelatihan
Jaringan organisasi:
24 Wilayah 207 Cabang


5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
Program pokok:
Pengkajian masalah pertanian
Pengembangan sumber daya hayati
Pembinaan dan advokasi pertanian
Pemberdayaan ekonomi petani
Jaringan organisasi:
19 Wilayah
140 Cabang

6. Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
Program pokok:
Pengkajian kepesantrenan
Pengembangan kualitas pendidikan pesantren
Pengembangan peran social pesantren
Pemberdayaan ekonomi pesantren
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
323 Cabang
Jaringan usaha:
6.830 Pesantren

7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
Program pokok:
Pengkajian sosial keagamaan
Pengembangan wawasan keluarga sejahtera
Pelayanan kesehatan masyarakat
Advokasi kependudukan dan lingkungan hidup
Jaringan organisasi:
22 Wilayah
50 lebih Cabang
8. Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI )
Program pokok:
Pengembangan kualitas manajemen rumah ibadah
Pengembangan aktifitas keagamaan masjid
Peningkatan fungsi social masjid
Jaringan organisasi:
16 Wilayah (tingkat propinsi)

9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)
Program pokok:
Pengkajian sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan
Pengembangan kreatifitas dan produktifitas masyarakat
Pendidikan dan pembinaan perencanaan strategis
Pengembangan program pembangunan sektoral
Jaringan organisasi:
16 Wilayah
60 lebih Cabang

10. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
Program pokok:
Pengkajian hukum dan perundang-undangan
Pendidikan kepengacaraan
Advokasi dan penyuluhan hukum
Kampanye penegakan hukum dan HAM
Jaringan organisasi:
1 Wilayah
7 Cabang




11. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Program pokok:
Pengkajian masalah-masalah actual kemasyarakatan
Perumusan dan penyebarluasan fatwa hukum (Islam)
Pengembangan standarisasi kitab-kitab fikih
Jaringan organisasi:
31 Wilayah
339 Cabang
 BADAN OTONOM
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
1.      Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
Program pokok:
Pengkajian ketarekatan dan keagamaan
Pengembangan ajaran tarekat mu'tabarah di lingkungan NU
Pembinaan praktek tarekat bagi warga NU
Jaringan organisasi:
15 Wilayah
200 Cabang
2.      Muslimat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian keperempuanan dan kemasyarakatan
Pengembangan SDM kaum perempuan
Pengembangan pendidikan kejuruan
Pengembangan usaha social dan advokasi perempuan
Jaringan organisasi:
31 Wilayah
339 Cabang
2.650  Anak Cabang (setingkat MWC)
Jaringan usaha:
49 Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin
8.522 TK dan TPQ
247 Koperasi (koperasi An Nisa)
Puluhan panti yatim piatu, panti balita, asrama putri, dan Balai Latihan Kerja
yang tersebar di berbagai daerah
3.      Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengembangan wawasan kebangsaan
Pengembangan SDM di bidang ekonomi, politik, IPTEK, social budaya, dan hukum
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
30 Wilayah
337 Cabang
Jaringan usaha:
INKOWINA (Induk Koperasi Wira Usaha Nasional)
4.      Fatayat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Kajian kepemudaan dan keperempuanan
Pendidikan dan penyuluhan kesehatan masyarakat
Penanggulangan krisis social, terutama menyangkut perbaikan kualitas generasi muda
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
334 Cabang
5.      Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian social kemasyarakatan
Pengembangan kreatifitas pelajar
Penggalangan dana beasiswa bagi pelajar kurang mampu
Pendidikan dan pembinaan remaja penyandang masalah social


Jaringan organisasi:
27 Wilayah
265 Cabang
Jaringan Usaha:
KOPUTRA (Koperasi Putra Nusantara)
6.      Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian social keagamaan serta masalah remaja dan kepelajaran
Pendidikan dan pelayanan kesehatan remaja
Pengembangan pendidikan bagi pelajar putus sekolah
Jaringan organisasi:
26 Wilayah
7.      Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Pemetaan dan pengembangan potensi kader terdidik NU
Optimalisasi peran dan mobilitas social warga NU
Pengkajian masalah-masalah keindonesiaan
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
5 Wilayah
17 Cabang
8.      Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Program pokok:
Pendidikan bela diri pencak silat.
Pembinaan dan pengembangan tenaga keamanan di lingkungan NU.
Pengembangan kerja social kemanusiaan
Jaringan organisasi:
15 Wilayah 110 Cabang .
9.      Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
Program pokok:
Pengkajian dan pengembangan seni baca Al-Qur'an.
Pendidikan dan pembinaan qira'atul Qur'an.
Pengembangan SDM di bidang tahfidzul Qur'an.
Penyelenggaraan MTQ.
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
339 Cabang



















II.4.Fiqih dan Problematika Kontemporer NU
          Dalam tradisi islam, fiqih memiliki peranan sentral sebagai instrument hokum untuk mengatur kehidupan masyarakat muslim. Mereka memerlukan karakter hokum yang karakternya tidak lagi murni tekstual nurmatif ( al-Qur’an dan Hadits ), tetapi dan sudah terstruktur menjadi sebuah pranata hokum aplikatif (fiqh). Dengan demikian maka fiqh dikodifikasikan untuk mengelola secara operasional keseluruhan aktifitas manusia, mulai dari persoalan ritual keagamaan sampai pada masalah-masalah profane, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hanya saja pembagian materi fiqh menjadi bermacam bidang tersebut tidak pernah mengemukakan dalam diskursus hukum islam. Hal itu karena masa kodifikasi fiqh pada era klasik dan tengah islam memang tidak melakukan diferensisasi terhadap aktifitas ritual dan profane. Al-Mawardi adalah seorang faqih, keahliannya dalam bidang politik menempatkannya sebagai Aqd al-Qudat dan bukan Qadi al-Qudat. Gelar Aqd al-Qudat yang diberikan kepadanya ini membuktikan adanya pembidangan materi (politik) dalam fiqh sejak dahulu.
            Perlu diketahui bahwa diferensisasi fiqh menjadi beberapa bidang merupakan fenomena baru untuk memenuhi kualisifikasi fiqh sebagai piñata hokum diera modern yang menuntut adnya spesialisasi. Dalam konteks Indonesia misalnya, terma fiqh al-siyasah baru bergulir setelah munculnya gagasan reaktualisasi hokum islam pada tahun 1980-an. Para penggagas reaktualisasi ini berupaya mengintrodusir prinsip universitalitas dalam etika politik islam untuk menjustifikasi pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik di negeri ini. Sejak itu terma yang dipergunakan untuk hokum islam tentang politik adalah fiqh al-siyasah, terpisah dari induknya fiqh.
            Bidang kajian fiqh yang memisahkan diri dari induknya tentu saja tidak terbatas pada fiqh al-siyasah saja. Salah satu bidang yang menegaskan kemandiriannya adalah fiqh sosial. Dalam bidang ini solusi terhadap problem-problem kontemporer yang diletakkan dalam presfektif fiqh mulai diupayakan melalui berbagai forum masalah-masalah sosial yang muncul dalam kehidupan modern serta memerlukan kepastian hukum dalam prespektif islam dibahas oleh kalangan ulama NU yang selalu aktif dalam membahas masalah-masalah sosial ini. Mereka berupaya untuk
memecahkan kebutuhan hukum Islam terhadap problematika sosial kontemporer
tersebut. Dalam negara yang tidak berlakukan hukum Islam seperti Indonesia, keputusan hukum mereka tidak mempunyai daya ikat publik (legally unbinding).
Meskipun demikian, upaya ulama NU tadi membuktikan adanya reaktualisasi fiqh,
Serta menunjukkan eksistensinya sebagai pranata hukum yang masih dijadikan rujukan oleh
sebagian masyarakat di negeri ini.
            Salah satu problem sosial yang memperoleh perhatian luas dari kalangan ulama beberapa waktu lalu adalah kontroversi diseputar keabsahan kepemimpinan seorang perempuan. Meskipun tersebut dapat dimasukkan kedalam ruang lingkup politik, munculnya kontroversi tersebut merupakan refleksi dari norma sosial paternalistik yang masih kuat menguasai sebagian sikap masyarakat Indonesia 2. Dalam seminar Pra-Muktamar NU ke 30 dengan tema “fiqh al-nisa” di Baturaden Banyumas 22 Juli 1999 yang lalu, ulama NU menetapkan keabsahan perempuan menjadi pemimpin nasional.
            Dalam kaitannya dengan interaksi dengan kelompok sosial lain ini, kalangan pesantren NU dengan referensi Fiqhnya juga terbukti lebih mampu bersosialisasi dengan mereka. Untuk memberikan gambaran dari sikap toleran tersebut, kalangan pesantren NU dapat dipersonifikasikan melalui sikap Gus Dur. Personufikasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa GusDur adalah produk pesantren NU. Gus Dur dikenal memiliki kedekatan hubungan, baik dengan menoritas agama (Nasrani) maupun etnis (China). Pengangkatannya menjadi seorang presiden menunjukkan pengakuan dunia atas keterbukaannya terhadap berbagai komponen sosial di Indonesia. Gus Dur juga dikenal sangat getol mengupayakan proses demokratisasi dan penegakan human right  disaat Indonesia masih dalam politik orde baru. Upaya tersebut merupakan jalan untuk menkonstruk bangunan kehidupan sosial lintas agama, politik dan ras.
            Paparan ringkasan tentang tipologi fiqh tersebut dapat menepis anggapan bahwa fiqh yang menjadi rujukan ulama NU tidak mampu menawarkan solusi terhadap problem-problem yang muncul pada zaman sekarang ini. NU juga termasuk kelompok yang pertama kali menerima pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dan menetapkan keabsahan perempuan sebagai seorang pemimpin.







II.5.BAHTSUL MASAIL DAN ISTINBATH HUKUM NU
          NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah Islamiyah dan ijtima’iyah, sejak berdirinya telah menjadikan faham ahlussunnah wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut dari salah satu dari empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali sebagai pandangan dalam berfiqh. Dengan mengikuti empat madzhab fiqh ini, menunjukkan elestisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih madzhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) meskipun kenyataannya dalam keseharian para ulama NU menggunakan fiqh Indonesia yang bersumber dari madzhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari madzhab Syafi’I.
            Dengan menganut salah satu dari empat madzhab dalam fiqh, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk bermadzhab. Sikap ini secara konsekuen ditindak lanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqh dari referensi dari kitab-kitab fiqh yang umumnya dikerangkakan secara sisrtematik dari beberapa komponen: ibadah, mu’amalah, munaqahah (hukum keluarga), jinayah/qadha’ (pidana/peradilan).dalam hal ini para ulama NU dan forum bahstul masail mengarahkan orentitasnya pada pengambilan hukum kepada pendapat para mujtahid yang muthlaq maupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan pendapat yang telah ada nashnya, maka qaul itulah yang dipegangi, kalau tidak ditemukan maka akan beralih ke pendapat hasil takhrij. Bila terjadi khilaf (perbedaan) maka diambil yang paling kuat sesuai pentarjihan. ahli tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf.akan tetapi mengambil sikap dalam menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder maupun dharuriyah (kebutuhan primer).
            Dari segi historis maupun operasionalitas, bahstul masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demoktratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan hukum di masyarakat. Demokratis karena forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiyai, santri yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan berwawasan luas sebab dalam bahstul masail tidak ada dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf.





II.6 MENGUJI KREDIBELITAS FIQH SEBAGAI KONSTITUSI KEAGAMAAN JAM’IYAH NU.

Dalam sebuah artikelnya, KH Sahal Mahfudz memberikan ilustrasi metaforis tentang hubungan timbal balik antara NU dan Pesantren. Dalam ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa NU dapat dipadang sebagai pesantren besar, sedangkan pesantren adalah miniatur NU. Selanjutnya Rois Am PB NU ini memberikan sebutan bagi kalangan pesantren NU dengan istilah masyarakat fiqh. Pernyataan tadi merupakan gambaran kuatnya timbal-balik antara NU dan pesantren. Disatu sisi, keberagaman kalangan NU didasarkan sepeuhnya pada ketentuan dalam fiqh. Disisi lain, fiqh sendiri adalah bidang kajian pokok dalam kurikulum pesantren NU.
Para ulama NU sering mengambil keputusan hukum dari kitab-kitab fiqh, sebagai pemikiran manusia (fukaha’), fiqh seharusnya berfungsi sebagai referensi hukum sekunder tidak menjadi referensi hukum primer. Pernyataan bahwa fiqh hanya bisa menjadi referensi hukum sekunder tentu memiliki alasan. Karena fiqh memang tidak termauk dalam kategori substantive low. Namun hal ini juga masih bisa diperdebatkan, seperti diketahui bahwa fiqh semula adalah kumpulan dari sejumlah hadist yang disusun berdasarkan kesamaan tema untuk membentuk berbagai bab- babnya. Menjadikan hadist sebagai basis material seperti itu dimaksudkan untuk memasukkan fiqh kedalam katagori sustantive low.
            Disamping alasan metodologis tersebut, dalam tradisi Islam para fuqaha’ adalah kelompok yang bertanggung jawab untuk memelihara keautentikan hadist. Karena itu tidak sedikit dari mereka yang juga menyandang gelar ahli hadist (muhaddistin). Dengan kata lain bahwa kualifikasi kepakaran dalam bidang hadist merupakan persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi oleh para fuqaha’. Dengan kapasitas kepakaran seperti itu, maka setiap keputusan hukum yang ditetapkannya akan selalu memiliki prespektif hadist.
            Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kedudukan fiqh dalam penentuan
hukum pada setiap masalah yang ada dapat dijadikan rujukan serta pedoman bagi ulama
NU, dikarenakan para fuha’ itu sendiri adalh orang yang ahli hadist.



           

II.7. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Usaha-usaha yang dilakukan organisasi NU antara lain:
1.      Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3.      Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4.      Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5.      Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.



















II.8.NU dan Rumusan Metode Ijtihad
NU dan Rumusan Metode Ijtihad
Beberapa Kiyai dan kalangan muda NU menyadari kebutuhan akan metode baru. Seperti K.H. A. Mustofa Bisri yang berpendapat bahwa sebelum memberikan fatwa, ulama perlu melihat pada latar belakang permasalahan dulu, kemudian mengeluarkan statemen pengantar berdasarkan itu. Tahun 1988 di Pesantren Watucongol Muntilan Magelang, mereka mendiskusikan bagaimana cara membaca kitab kuning lebih kritis. Masdar Farid Mas’udi mengungkapkan, mereka membahas bagaimana menganalisis tulisan-tulisan pada kitab Islam menurut latar belakang dan sosio-kultur ditulisnya kitab tersebut. Dalam makna lain, mereka mencoba untuk melihat teks secara konstekstual, tidak lagi sekedar tekstual.

Pada November 1998, pertemuan selanjutnya di Pesantren Krapyak Yogyakarta, membahas tata cara Bahtsul Masa’il. Pertemuan ketiga di Pesantren Denanyar Jombang merumuskan metodologi untuk membedakan antara pengutipan pendapat ulama (qauli) dan metode (manhaji). Setelah itu, mereka mendiskusikan cara untuk membina fikih sosial dalam rangka memecahkan masalah sosial. Pada hakekatnya, mereka menginginkan hukum Islam tidak hanya berbicara masalah ritual-keagamaan, namun juga masalah sosial seperti posisi militer, prostitusi, pajak, dan demokrasi.
Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan bahwa; pertama, tidak cukup mengeluarkan fatwa hanya dengan mengutip dari teks kitab kuning. Qowâ’id ushûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah juga perlu diuji. Kedua, fatwa masalah sosial perlu menelaah hal-hal seperti latar belakang sosial, situasi politik, dan ekonomi. Seperti contoh, untuk menjawab masalah prostitusi di suatu tempat, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa “prostitusi itu dilarang menurut kitab fikih”. Malahan, perlu ditelaah kenapa prostistusi terjadi di tempat itu? Kenapa orang-orang menyukai pergi ke sana? Kenapa Pemerintah tinggal diam dalam masalah ini? Jawaban harus lebih luas dan mempunyai daya lingkup menyeluruh.

Ketiga, memberikan fatwa tanpa mengutip pendapat atau qaul madzhab Syafi’iyah bukan berarti menolak terhadap madzhab itu, sepanjang mengikuti metodologi madzhab itu. Tambahan lagi, yang keempat, memilih pendapat paling kuat dari fatwa-fatwa yang berbeda harus berdasar pada argumentasi yang paling bermanfaat (maslahah) bagi masyarakat; bukan hanya pada tingkatan para ulama.

Pada Kongres Nasional di Lampung, 21-25 Januari 1992, sebuah terobosan telah tercapai. Kiyai-kiyai yang terlibat dalam pertemuan itu mengusulkan untuk mendiskusikan metode mengeluarkan fatwa. Jelas tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah diikuti sejak 1926. Beberapa Kiyai Senior ingin mempertahankan metode lama. Sebuah kompromi yang tercapai, dengan beberapa metode baru yang diterima selagi masih berdiri di atas prinsip lama.
Selanjutnya, NU biasanya akan memproduksi fatwa dengan; pertama, memeriksa secara menyeluruh pendapat-pendapat para ulama terdahulu. Kedua, Jika ditemukan perbedaan pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat paling dominan yang dipilih secara bersama (taqrîr jama’i). Ketiga, jika jawaban masih tidak ditemukan, maka akan menggunakan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha, dengan menggambarkan antara kasus yang ditangani dan situasi serupa yang disebutkan di dalam kitab hukum Islam. Keempat, jika dengan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha tidak juga mendapatkan jawaban atas permasalahannya, maka harus mengadakan istinbât jama’i dengan melihat metode Imam madzhabnya. Dalam posisi ini, seorang ahli ilmu umum seperti ahli ekonomi, hukum, dan teknik, bisa terlibat dalam proses ijtihad.

-Kesimpulan
Walaupun analisis permasalahan sosial disatukan dalam metode baru, dan untuk pertama kalinya NU berbicara tentang fatwa kolektif, sejumlah persiapan mungkin dibuat. Pertama, metode lama tetap dilakukan secara utuh. Ini berarti memilih satu pendapat hanya berdasarkan tingkatan ulama saja, tidak melihat pada kekuatan argumen atau mana yang lebih bermanfaat (maslahah) bagi masyarakat. Dalam bentuk terbatas ini, analisa sosial diterima karena tidak menggantikan metode lama. Usulan baru hanya memperluas metode lama.
Kedua, NU masih tidak mengakui seputar kemampuan melakukan ijtihad. Semisal, menghindari penggunaan terma ijtihad dan qiyâs. Diyakini bahwa, mengikuti Imam Syafi’i, keduanya setara, dan karena NU menyatakan diri sebagai Muqallid, terminologi seperti itu dihindari. Malahan, terma istinbât dan ilhâq al-masâ`il bi nadzâriha digunakan. Namun realitanya, terminologi itu secara berurutan tidak berlainan dengan ijtihad dan qiyâs. Bisa dikatakan bahwa, walaupun NU tidak ingin disebut sebagai Mujtahid, tapi melakukan ijtihad dengan nama lain.
NU perlu bercermin pada perdebatan ijtihad dalam tradisi Islam. Mayoritas ulama membolehkan ijtihad dalam kasus tertentu. K.H. Husein Muhammad, Pesantren Arjawinangun, meyakini bahwa ulama NU mempunyai kapabilitas untuk melakukan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu. Masalahnya adalah, bahwa mereka terlalu rendah hati untuk melakukan itu.
Ketiga, implementasi metode baru layak ditinjau ulang. Menurut K.H. Azis Masyhuri, tujuh tahun setelah metode baru digunakan, prosedur manhaji dan istinbât tidak pernah lagi dipakai. Para ulama mengklaim bahwa mereka masih bisa memecahkan masalah, termasuk masalah modern, dengan bersumber kepada teks-teks kitab kuning. Faktanya bahwa tidak ada contoh bagaimana mengaplikasikan metode baru secara optimal. K.H. Azis Masyhuri mengklaim bahwa dia ditanya Wakil Ketua Dewan Syuriah, K.H. Sahal Mahfudz (1994-1999), “Adakah contoh mengeluarkan fatwa dengan manhaji atau istinbât?”. Menurut K.H. Azis Masyhuri, K.H. Sahal Mahfudz mengakui bahwa beliau tidak bisa memberikan satu contoh pun.
Dr. Ahsin Muhammad mengkritik NU karena tidak menyediakan petunjuk teknis dalam mengaplikasikan metode baru. Menurutnya jika petunjuk teknis untuk metode baru keluar, maka efeknya akan; pertama, Pesantren akan merubah kurikulum dan program, dalam rangka mengajarkan santri-santrinya tentang cara mengeluarkan fatwa dengan metode baru. Kedua, fatwa lama sejak Muktamar pertama tahun 1926 perlu ditinjau ulang, berdasarkan metode baru. Ini menjadikan NU telah gagal bukan hanya dalam mengenalkan metode baru kepada anggotanya, bahkan juga dalam menindaklanjuti hal tersebut.
Dengan metode baru, analisis sosial diperlukan untuk memecahkan problematika sosial. Dalam prakteknya, jarang muncul analisis seperti itu. Bahkan bisa dikatakan tak ada sama sekali. Seperti contoh, pada Muktamar ke 29 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat (dua tahun setelah metode baru diputuskan), saat menjawab pertanyaan tentang upah minimum tenaga kerja, fatwa masih bersandar pada konsep fikih, dan melalaikan isu dasar: ketimpangan posisi tawar (bargaining position) antara pemerintah, perusahaan, dan karyawan. Hasilnya fatwa itu tidak memberikan rekomendasi apapun untuk memecahkan problem dasar seputar tenaga kerja di Indonesia.
Dengan menerima analisis sosial sebagai metode tambahan, NU berkesempatan untuk mengembangkan posisi fatwa tidak hanya sebatas persoalan agama, namun juga sebagai perangkat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini memerlukan ahli ilmu sosial untuk ikut terlibat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa. NU menyediakan kesempatan kepada ahli sosial untuk mengambil peran. Sayangnya, sedikitnya kalangan NU yang menguasai disiplin sosial dan besarnya biaya untuk mengundang pakar di bidang itu masih menjadi kendala.
























II.9.VISI DAN MISI
Berdasarkan hasil keputusan Muktamar Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Visi NU adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah wal Jama`ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.

Misi NU adalah dengan melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
  1. Di bidang agama, menupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah wal Jama`ah dan menurut salah satu dari Madzhab Empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma`ruf nahi munkar
  2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membuna umat agar menjadi muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
  3. Di bidang sosial, mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.
  4. Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
  5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khairu Ummah.

A. TUJUAN NU
Jika kita melihat muqoddimah khittah NU alenia ke-2 maka tujuan didirikan NU adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan ahlussunah wal jama`ah serta menganut salah satu madzhab empat; Imam Abu Hanifah an-Nu`man, Imam Malik Bin Anas, Imam Muhammad Bin Idris As-syafi`I dan Imam Ahmad bin Hanbal, guna mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, ketinggian harkat dan martabat manusia
Berdasarkan pada mukoddimah khittah NU pada alenia ke-3 maka tujuan NU adalah Membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Alloh SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.

B. FUNGSI NU
Jika kita melihat butir ketujuh khittah NU tentang fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama dalam NU maka fungsi dari NU sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Karena pada dasarnya Nu adalah jam`iyah diniyah yang membawakan paham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa fatwa keagamaan Islam ahlussunah wal jama`ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi

C. POSISI NU
- Dalam Kehidupan Berbangsa
Berdasarkan pada alenia 1,2,3, dan 4 pada butir ke 8 kittah NU yang menjelaskan tentang posisi NU dalam kehidupan berbangsa, maka posisi NU dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi keseluruhan bangsa Indonesia, NU senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. NU secara sadar mengambil posisi yang aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan serta ikut aktif dalam penyusunan UUD `45 dan perumusan dan penyusunan pancasila sebagai dasar Negara

Keberadaan NU yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan segenap warganya untuk selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Alloh SWT. Karenanya setiap warga NU harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi pancasila dan UUD `45.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian yang tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-Ukhuwah), toleransi (at-Tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan NU berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara
- NU dalam kehidupan politik
Berdasarkan pada alenia 5 dan 6 pada butir ke 8 kittah NU yang menjelaskan tentang posisi NU dalam kehidupan berbangsa, maka NU sebagai jam`iyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga

c. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh Undang-Undang. Di dalam hal politik warga NU menggunakan hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama

- STRUKTUR KEPENGURUSAN
1. Struktur Organisasi NU
a. PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat pusat.
b. PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat propinsi.
c. PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Kabupaten, dan PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) untuk luar negeri
d. MWC NU (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat kecamatan.
e. Ranting untuk tingkat kelurahan /desa.


2. Struktur Kelembagaan NU
a. Musttasyar (Penasehat)
b. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)terdiri dari :
• Rais Aam
• Wakil Rais Aam
• Katib Aam
• Beberapa Wakil Katib
• A’wam
c. Tanfidziyah (pelaksana) terdiri dari :
• Ketua Umum
• Beberapa Ketua
• Sekretarias Jenderal
• Beberapa Wakil Sekjen
• Bendahara
• Beberapa Wakil Bendahara

3. Stuktur Organisasi Lajnah, Banon dan Lembaga
  1. PP (Pimpinan Pusat) untuk tingkat pusat.
  2. PW (Pimpinan Wilayah) untuk tingkat propinsi.
  3. PC (Pimpinan Cabang) untuk tingkat Kabupaten/kota.
  4. PAC (Pimpinan Anak Cabang) untuk tingkat kecamatan.
  5. Ranting untuk tingkat kelurahan/desa dan komisariat untuk kepengurusan disuatu tempat tertentu.
D.KEANGGOTAAN
NU memiliki anggota yang luar biasa besar. Hasil survai LSI (2004) menyebutkan anggota NU tidak kurang dari 60 juta orang. Mereka tersebar di 30 Pengurus Wilayah, 339 Pengurus Cabang, 2.630 Majelis Wakil Cabang dan 37.125 Pengurus Ranting di seluruh Indonesia. Ditambah 12 Pengurus Cabang Istimewa di Luar negeri (data PBNU tahun 2004)

E.GARIS-GARIS BESAR PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA
Mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : al-Qur`an, as-Sunah, al-Ijma` (kesepakatan para sahabat dan ulama) dan al-Qiyas (analogi).

Dalam memahami dan menafsirkannya, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah dengan jalan pendekatan madzhab:
  1. Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah yang dipelopori oleh Imam Abul hasan al-Asy`ari dan Imam abu mansur al-Maturidi
  2. Di bidang giqih, NU mengikuti paham Ahlussunah Waljama`ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah an-Nu`man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi`I dan Imam ahmad bin Hanbal
  3. Di bidang tasawuf, NU mengikuti antara lain Imam Junaid al-baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain

F.ARTI LAMBANG NU
Nahdlatul Ulama, secara istilah diciptakan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Azis, bermula dari ide KH Abdul Khamid (Sedayu,Gresik). Sedangkan lambang NU diciptakan oleh KH Ridwan Abdulloh (Surabaya) dari hasil mimpi beliau waktu istikharoh yang mempunyai arti sebagai berikut :
  1. Bola Dunia : Melambangkan bumi tempat kita hidup
  2. Gambar Peta : Melambangkan NU yang rahmatun lil ‘alamin, bermanfaat bagi seluruh umat manusia
  3. Ikatan Tali Atas : Melambangkan persatuan yang kokoh
  4. Dua Ikatan Tali Bawah : Keseimbangan hubungan manusia dan Tuhan
  5. Untaian Tali 99 melambangkan Asmaul Khusna
  6. Satu Bintang Besar : Melambangkan Nabi Muhammad SAW.
  7. Empat Bintang di Atas Khatulistiwa : Melambangkan Khulafaur Rasyidin
  8. Empat Bintang di Bawah Khatulistiwa : Melambangkan empat Imam madzhab, bila dijumlah 9 bintang melambangkan wali sanga
  9. Tulisan Huruf Arab Melintang : Menggambarkan nama Nahdlatul Ulama
  10. Warna Dasar Hijau Berarti Kesuburan Indonesia
  11. Warna Putih Melambangkan Kesucian




II.10.ANALISIS NU
Menurut pelunis NU adalah sebuah golongan yang lebih banyak memakai
nalar dari pada dalil-dalil tetapi tidak menyimpangnya. Para ulama NU cendrung lebih
sosial dari pada golongan-golongan yang lain. NU juga lebih luwes pemikirannya di
sesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Oleh sebab itu para ulama NU banyak
yang menggunakan ijtihad sehingga banyak sekali bid’ah yang mereka lakukan, makanya
para ulama NU membagi bid’ah itu sendiri kedalam dua bagian, pertama bid’ah hasanah
yaitu sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah terjadi pada zaman Rasul tetapi juga tidak
melanggar syari’at yang ada. Yang kedua bid’ah sayyi’ah kebalikan dari yang pertama.
Meode yang digunakan oleh ulama NU dalam mengambil sebuah
keputusan/penetapan hukum Islam adalah bahsul masail, dimana masalah yang dihadapi
dirembuk bersama untuk mencapai hasil mufakat.
Selain itu pula para ulama NU menurut penulis terlalu terpaku pada kitabkitab
fiqh saja, meskipun itu juga tidak keliru. Tetapi semakin banyak referensi yang
diambil akan semakin bagus dan kemungkinan keliru dalam mengambil sebuah istimbat
akan semakin kecil.












BAB III
PENUTUP

Dari makalah diatas kami telah mencoba memaparkan seluk-beluk NU yang berkembang di Indoesia, serta dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :
1.    Para ulama NU terlalu sering serta berpedoman pada fiqh, yang masih diragukankeautentik keabsahannya. Itu bisa dilakukan apabila tidak menemukan penetapan
hukum dari hadist dan al-Qur’an.
2. NU adalah sebuah golongan yang luwes dan fleksibel, sebab NU bukanlah golongan yang hanya bergerak dalam bidang agama saja, tipi NU juga bergerak dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Selain itu, NU juga golongan yang mengikuti perkembangan zaman, sebab yang
dibahas dalam bahstul masail NU bukan hanya permasalahan kontemporer tetapi juga
permasalahan-permasalahan yang terjadi sekarang ini

KESIMPULAN
Dari materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar, Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis), Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.




DAFTAR PUSTAKA

        Fahrudin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Pustaka Alvabet Jakarta. 2009
        Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009
        http//id.wikipedia.org/wiki/nahdatul ulama
        Al Barry, Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola. Surabaya, 1994
        Sutarmo, Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, Suaka Alva. Jogyakarta. 2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar